PAPUA BERSUARA DENGAN AIR MATA:
Home » » Dulu Hanya Nyanyi dan Doa, Kini Kenal Huruf serta Warna

Dulu Hanya Nyanyi dan Doa, Kini Kenal Huruf serta Warna

Kamis, 24 September 2015 | 0 komentar



Kurikulum yang memanfaatkan lagu, dongeng, permainan, dan tarian lokal meningkatkan daya tangkap para bocah Pulau Pura. Berikut laporan wartawan Jawa Pos YUSUF ASYARI yang akhir bulan lalu mengunjungi pulau di Kabupaten Alor, NTT, itu.
DI ruangan seluas 6x6 meter, belasan bocah berdiri berjajar. Sebagian tampak malu-malu. Tapi, semuanya kompak ketika mulai bernyanyi, “Ikan, ikan, itu ikanku. Lari-lari tak jemu-jemu. Merah-kuning warnanya indah.....”
Selesai bernyanyi, para murid yang sebagian besar tanpa alas kaki itu berlari kecil menuju meja bundar. Dengan riang, mereka lalu duduk melingkar. Pelajaran selanjutnya adalah menyusun puzzle.
Lagi-lagi gambarnya ikan. Tidak kurang satu menit, tiga murid berhasil menyelesaikan tugas. Mereka juga bisa menyebut warna dan belajar berhitung.
“Dulu mereka hanya bisa nyanyi dan doa di sekolah. Sekarang beda,” kata Menahem Besituba, kepala PAUD Bethel Retta.
 Sebagian bocah yang siang itu bernyanyi dan bermain puzzle di PAUD Sayang Tiberias tersebut memang murid Menahem. PAUD Sayang Tiberias yang dikepalai Aleta Hinamalua itu terletak di Dusun Malal, Desa Pura Selatan, Kecamatan Pulau Pura, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
 Pulau Pura boleh dibilang sebagai “pintu gerbang”  menuju Alor, kabupaten yang berbatasan laut dengan Timor Leste. Kalau naik kapal dari Kupang, ibu kota NTT, menuju Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, pasti melewati pulau yang bisa dijangkau dalam 15-20 menit dengan perahu motor dari Kalabahi itu.  
 Nah, PAUD Bethel Retta sejatinya punya 50 murid. Tapi, di siang yang terik menjelang akhir bulan lalu tersebut (24/8), Menahem hanya membawa sebagian di antara mereka.  
 Maklum, letak Dusun Retta masih satu jam lagi naik ke atas dari Dusun Malal. “Untuk sampai ke Malal, saya dan murid-murid harus lewat jalan setapak di perbukitan kering yang menanjak,” tutur Menahem.
 Berasal dari kawasan seterpencil itu, di wilayah kabupaten yang merupakan tapal batas Indonesia, bisa bermain puzzle serta mampu mengenali warna, huruf, dan angka adalah sebuah capaian besar. Bahkan, tak berlebihan kalau menyebutnya sebagai keajaiban.
Aleta menuturkan, PAUD yang dipimpinnya memang berdiri sejak 2010. Tapi, ketika itu, belum ada gedung. Anak didik belajar di ruang kosong dekat dermaga.
 Pada 2013, baru dibangun gedung oleh pemerintah setempat. Tapi, dinas pendidikan kabupaten hanya memberikan kurikulum tanpa pelatihan. Pihaknya hanya diberi buku.
 Alhasil, guru PAUD bingung. Karena mereka tidak bisa bikin modul belajar, akhirnya kegiatan sekolah hanya bernyanyi dan berdoa. ”Kalau nakal, dulu sampai dicubit. Sekarang beda, pakai teknik. Seperti puji-puji,” kata Menahem, lalu tertawa saat mengenang zaman “jahiliah” sebelum mereka mendapat pendampingan dari Wahana Visi Indonesia (WVI).
 WVI yang bermitra dengan World Vision sebenarnya sudah terlibat dalam program pengembangan daerah di Kabupaten Alor selama 16 tahun terakhir. Mereka berfokus pada pengembangan di bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.
 Pada 2012, WVI menjadikan kedua PAUD pimpinan Menahem dan Aleta sebagai proyek percontohan pendampingan. “Yang kami lakukan adalah meningkatkan kualitas pembelajaran,” kata Ketua Pengurus Yayasan Wahana Visi Indonesia Grace Hukom kepada Jawa Pos yang ikut mengunjungi Pulau Pura.
 Para guru PAUD mendapatkan materi modul dan cara membuat kurikulum. Kurikulum itu disusun dengan memanfaatkan potensi lokal seperti kebiasaan baik, lagu, dongeng, permainan, tarian, serta material lain. Misalnya bunga, daun, biji-bijian, bebatuan, atau ikan. Ikan merupakan materi yang paling gampang untuk dijadikan medium belajar. Sebab, mayoritas warga setempat bekerja sebagai nelayan. Otomatis, para bocah Pulau Pura pun akrab dengan makhluk air tersebut.
 Metode pembelajaran dibagi menjadi centre based (belajar di kelas) dan home based (pendidikan anak di rumah). Sejauh ini, ada masing-masing 12 rumah di tiga desa di Pulau Pura yang sudah didesain home based. Konsepnya mirip bedah rumah yang dibuat bernilai pendidikan. Orang tua dilibatkan dalam desain rumah itu.
 Misalnya mengatur meja belajar dan meja makan, menyediakan kamar tidur, atau membuat taman bunga. Targetnya adalah mengajari anak untuk mengenal pendidikan sejak bayi. “Itu hal baru bagi warga di sini. Tapi, setelah mereka diajak, hasilnya ternyata menyenangkan,” kata Aleta.
 Dampak positif dari kombinasi pembelajaran di sekolah dan rumah tersebut juga dirasakan pengajar di tingkat sekolah dasar (SD). Kepala SD Inpres Retta Putri Juli Djahimo menjelaskan, saat ini ada sepuluh lulusan PAUD yang belajar di kelas I. Sisanya adalah dua anak yang tidak belajar di PAUD.
 Perbedaannya sangat terlihat. Lulusan PAUD lebih cepat menyerap pelajaran SD. “Beda dengan dulu (sebelum para pengajar PAUD mendapat pendampingan menyusun kurikulum, Red),” kata Putri.
 Padahal, menjadi guru PAUD di wilayah itu sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran penghasilan. Para orang tua murid pun menyumbang seikhlasnya.
 Di PAUD Bethel Retta, ada tiga guru lain di luar Menahem. Sedangkan di Sayang Tiberias, terdapat lima pengajar, termasuk Aleta. Mereka tidak mendapat gaji, hanya insentif dari Pemerintah Kabupaten Alor.
 Itu pun sangat minim. Misalnya, di PAUD Sayang Tiberias, insentif hanya Rp 1 juta per tahun dibagi lima guru. Jadi, per guru hanya menerima Rp 200 ribu setahun.
 Uang sejumlah itu diberikan dalam dua semester. Sekali menerima pada semester pertama Rp 100 ribu. Semester berikutnya, enam bulan kemudian, baru dapat Rp 100 ribu lagi.
 Padahal, Menahem, misalnya, punya tanggungan tiga anak. Salah satu anak akan masuk SMA. “Saya sampai sempat berpikir merantau untuk menghidupi keluarga,” kata Menahem.
 Tapi, niat itu akhirnya dipendam demi cita-cita menjadikan pendidikan di desanya maju. Padahal, selama ini, pria lulusan SMA tersebut bingung untuk membayar uang sekolah anaknya yang sebesar Rp 35 ribu per bulan. Selama ini, untuk makan sehari-hari, pria yang pernah bekerja sebagai tenaga sekuriti di Batam pada 2003-2006 itu mengandalkan berladang.
 Jika musim panas, dia berladang kemiri dan jambu. Kalau kemarau, dia mengolah ikan bubuh (ikan kecil) dengan sistem satu hari dijual. Atau menganyam daun lontar menjadi kerajinan bakul atau tempat sirih dan telepon seluler.
 Beban Aleta memang tidak seberat Menahem. Sebab, perempuan 40 tahun itu masih melajang. Tapi, dia tetap harus mencari penghasilan dari bidang lain.
 Aleta, yang juga lulusan SMA, menjadi guru PAUD sejak awal tempat pendidikan itu berdiri. Awalnya, dia aktif di posyandu sebulan sekali. Kemudian, tiga bulan sekali dia memberikan pelayanan cek kesehatan dan makanan dari kacang kedelai.
 Yang membuat keduanya bertahan adalah senyum para anak didik. Lebih dari itu, mereka bahagia saat anak didiknya mulai berani berinteraksi.  “Senang sekali melihat murid-murid saya bisa mengerti gambar, huruf, warna, dan berhitung,” kata Aleta.
 Satu lagi PAUD percontohan berada di Desa Tuleng, Kecamatan Lembur. Namanya Tunas Melati. Berjarak 1 jam dari Kalabahi. Akses mobil menuju tempat itu relatif baik.
 PAUD tersebut didirikan oleh pasutri Mesak Mauleti dan Eksalina Lauleti. Menurut Mesak, inspirasi pendirian PAUD itu datang dari ibunya yang seorang guru. Dia pun merelakan rumahnya untuk sekaligus dijadikan lokasi sekolah.  “Dengan segala keterbatasan, kami bangga bisa berbuat sesuatu untuk warga sekitar,” kata Mesak.
 Kebanggaan serupa terpahat dengan jelas di raut Menahem dan Aleta. Senyum mereka mengembang sembari menyaksikan para anak didik meneruskan lagu berjudul Ikan tersebut, “Itu ikanku, dari ayah. Itu ikanku, dari ibu.”(Mc)
Share this article :
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Blog Majalah Cendrawasih
Habis Kunjungi Jangan Lupa Tinggalkan Pesan Anda

 
Support : Majalah Cendrawasih | Mc Papuan | Bersuara dengan Air Mata
Copyright © 2014. Majalah Cendrawasih - By Mcpapuan

Proudly powered by Majalah Cendrawasih