![]() |
Penandatanganan kontrak pengelolaan tambang di Papua antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, 1967. |
Bermula
dari informasi tim penelitian geologi di zaman Belanda, Freeport
melacak jejak harta karun di perut bumi Papua. Ditolak Sukarno, diterima
Soeharto.
PADA 1959 Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn
yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan
seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang
pernah dikunjunginya. “Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama
Papua saat itu-Red.) dan menemukan badan bijih (ore body) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey.
Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya
serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia.
Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya
demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai
sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga
panjangnya.”
“Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah
pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk
membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali,
dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari
yang pernah Anda bilang.”
Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K Wilson,
yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak
bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu
Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi
Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam
aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman
Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang
artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua.
Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan
Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan
Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi
di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan
pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke
Indonesia.
Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965
yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu
CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar
baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera
dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh
lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno.
Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran
salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan
Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius
Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi
penentangnya.
Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat
lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung
selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam
Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik
sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat
pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika,
kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan
alam di Papua.
Pada April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur
Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi
dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu,
“membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani
kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang
menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,”
tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain
penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal
Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih
dalam sengketa.
Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh
masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk
tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti
selain lima persen pajak penjualan.
“Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini
ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi
agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli,
yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie.
Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi
Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat
lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk
perusahaan Kanad, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi
Selatan.”
Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan
di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah
pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan
perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional
pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke
Soeharto.(MC)A